Sabtu, 21 April 2012

Gadis Berkemeja Biru


Sore itu keadaan kota semraut banget. Banyak kendaraan lalu lalang tanpa mengindahkan lampu lalu lintas dan pejalan kaki. Terdengar bunyi klakson disana-sini, caci-makian pun turut meramaikan suasana kota Gurindam. Farah pun melangkahkan kakinya  dengan hati-hati karena pengendara motor kerap mengambil jalan yang dikhususkan untuk pejalan kaki. Seketika langkah Farah benar-benar berhenti saat ada motor yang hendak menabraknya. “Woii!!! Punya mata ga sih lo. Jalan lo tuh disana bukan disini”. Namun makian Farah tak digubris sama sekali oleh pengendara motor itu. “Dasar gila!! Udah ada jalan sendiri masih aja ngambil jalan orang. Gw sumpahin lo jatoh dari tuh motor”. Umpat Farah kesal karena dirinya nyaris saja disenggol motor berjenis FU itu.
            Namun, walaupun begitu langkah Farah tak berhenti di trotoar jalan. Ia tetap melanjutkan perjalanannya menuju tempat favorit yang selalu Ia datangi. Farah sampai ditempat itu saat Ia melihat seorang nenek ingin menyeberangi jalan. Namun karena keadaan jalan yang sangat ga karuan itu, sang nenek ga berani menyeberang. Karena Ia iba dengan sang nenek, Ia datang menghampiri nenek yang sudah memakai bantuan tongakat untuk berjalan itu. “Nenek mau nyeberang ya?” Tanyanya halus. “Ia nak, tapi nenek ga berani, soalnya dari tadi motor-motornya pada ngebut semua, nenek ga dikasih kesempatan buat nyeberang”. Jawab nenek yang diselingi dengan batuknya. “Mari Nek saya bantuin”. Sang nenek pun menurut pada Farah. Digenggamnya tangan Farah erat lalu mengikuti langkah Farah menuju seberang jalan.
            Setelah sampai di seberang jalan, Farah kembali bertanya, “Nenek mau kemana, nek?”. “Nenek mau pulang Nak, kesana”. Jawab nenek sambil menunjuk ke arah barat yang diikuti oleh pandangan Farah. “Saya antar nenek pulang ya”. “Oh, ga usah Nak, kamu nolong nenek nyeberang aja nenek udah senang. Dijaman sekarang jarang ada anak muda yang peduli sama orang yang renta kayak nenek gini”. Jawab nenek itu tajam. “Ah, nenek bisa aja. Nenek ga boleh ngomong gitu, masih ada banyak yang peduli terhadap orang-orang kayak nenek”. Tiba-tiba nenek itu memegang pipi Farah. Diamatinya dalam-dalam wajah imut berkacamata itu, sebelum akhirnya Ia berlalu. Namun, ia membalikkan kembali badannya dan menatap Farah. “Kasihan kamu Nak, anak sebaik kamu harus mengorbankan hidupmu”. Sontak Farah kaget dengan ucapan nenek, “Maksud nenek apa nek?”. Namun pertanyaan itu diacuhkan oleh nenek, ia membalikkan lagi tubuh kecilnya dan berjalan kearah barat dimana matahari ikut menenggelamkan dirinya.
            Pikiran Farah masih melayang pada perkataan nenek tadi saat pelayan cafe menyadarkannya. “Permisi mbak, ini pesanannya”. Kata pelayan itu penuh sopan sembari meletakkan minuman yang tadi dipesan Farah. “Oh iya mas, makasih ya”. Namun pikirannya kembali lagi pada perkataan nenek itu. “Kasihan kamu Nak, anak sebaik kamu harus mengorbankan hidupmu”. Kata-kata itu terus mengiang di telinganya. “Apa maksud nenek itu ya? Kog dia bisa ngomong gitu? Siapa ‘dia’ yang nenek maksud? Kenapa aku mau mengorbankan hidupku untuknya?”. Banyak pertanyaan yang tinggal dalam benaknya, namun semua terasa sia-sia karena sekeras apapun ia berpikir ia takkan  mendapatkan jawaban.
            Pertanyaan nenek itu berhasil mengerumuni pikiran Farah. Farah yang biasanya aktif didepan netbook mungilnya dengan cekatan-cekatan jarinya, kini hanya diam mematung memandangi layar. “Sssshhhhh”. Farah menarik nafas panjang. Tiba-tiba Farah merasakan badannya hangat. “Duh, kog aku jadi panas gini ya, lemes banget badanku”. Ucapnya sembari memegang tengkuknya. Karena merasa kondisinya melemah, ia putuskan untuk beranjak dari café itu dan pulang ke rumah.
            Farah langsung menjatuhkan dirinya saat tiba di kamarnya. Pandangannya kosong menatap jendela kamarnya yang belum ditutup. Lama kelamaan matanya mulai menutup dan pikirannya mulai kosong. Ia tak melawan rasa itu hingga akhirnya ia benar-benar tidur pulas.
            Farah mulai mengacuhkan pertanyaan nenek itu setelah sepekan lamanya ia menanti sang nenek di tempat kemarin yang hasilnya nihil. Apa yang ditunggu-tunggunya tak pernah lagi menampakkan dirinya. Farah memang mulai mengacuhkan pertanyaan sang nenek namun bukan berarti ia melupakannya.
            Kembali Farah ke café tempat biasa ia menyibukkan diri bersama netbook tercintanya. Seperti biasa ia duduk ditempat pertama disamping pintu masuk dengan memakai kemeja biru kesayangannya. Ia duduk dan memanggil pelayan serta memesan minuman kesukaannya. Sembari menunggu pesanannya, ia mulai memainkan jari-jarinya diatas keyboard netbooknya. Kadang berpikir, kadang mengetik, kadang melamun. Ya beginilah keseharian Farah. Setelah siap kuliah Ia langsung ke café Capuchii yang terletak 2 km dari kampusnya dan menuangkan ide-ide kreatifnya dalam sebuah tulisan.
            Saat ini Farah  sedang menjalani program S1 dan sudah memasuki semester 5  di salah satu universitas di kotanya. Ia yang bercita-cita menjadi seorang penulis pun memilih mengambil fakultas sastra di universitas tersebut. Gadis berambut pendek sebahu dan berkacamata ini belum pernah merasakan indahnya masa-masa bersama sang kekasih karena terlalu sibuk memikirkan kuliahnya. Namun bukan berarti ia ga pernah jatuh cinta. Hanya saja perasaan itu kerap diabaikan olehnya karena takut mengganggu kuliahnya. Tak sedikit pria yang mencoba mendekati dirinya, namun tak seorang pun yang benar-benar mencuri hati gadis ini. Meski demikian, ia tak terlalu pusing memikirkannya, karena baginya karir dan cita-cita adalah nomor satu. Setelah sukses dalam berkarya, ia yakin pangerannya pun akan datang untuk meminangnya.
            Farah Saufika Triani adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Ayahnya telah lama meniggal dunia karena kecelakaan saat bekerja sebagai tukang bangunan. Ibunya pun sedang sakit parah dan Farah lah yang menjadi tulang punggung untuk keluarganya. Meski menjadi tulang punggung, ia mendapatkan pekerjaan yang mampu membayarnya besar setiap bulannya. Hingga akhirnya ia tidak terlalu mencemasi nasib Ibu beserta kedua adiknya, karena penghasilannya sebulan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi semua itu tidak membuatnya congkak dan besar hati.
            Malam itu telah menunjukkan pukul 10 malam saat Farah beranjak dari café Capuchii dan berjalan pulang. Farah berjalan menyusuri lorong-lorong kecil untuk sampai ke rumahnya. Di pertengahan jalan, seorang pemuda yang sedang memegang botol minuman menahan Farah. “Mau kemana, neng? Temenin abang yukk, abang kesepian nih”. Goda pemuda abertato itu. Karena kesal ucapannya tidak digubris Farah, pemuda itu mulai panas. Ia memaksa Farah untuk ikut bersamanya. “Tolong..!!!Tolong…!!!”. Farah berteriak berharap ada yang menolongnya. “Buukkkk!!!!”. Tiba-tiba pemuda itu pingsan dan melepaskan Farah. Farah kaget. Dilihatnya ke arah belakang pemuda itu. Sesosok pria tampan tengah berdiri dengan beton ditangannya. Karena ketakutan Farah langsung memeluk pria itu. “Udah tenang aja, lo dah aman sekarang”. Ujar pria berbadan tegap itu sambil mengelus rambut Farah. Farah segera melepaskan pelukannya, “Hmm,, sorry, gw ga sengaja, tadi reflex aja karna gw takut. Btw, makasih banyak ya lo dah nolong gw, kalo ga ada lo tadi, gw gat w apa jadinya gw, mungkinnnnnn”. “Sttt,, lo ga boleh mikir yang nggak nggak gitu. Sekarang lo dah aman kog. Ga ada yang perlu lo khawatirkan lagi. Gw anatarfin lo pulang ya”.
            Pertemuan itu ternyata tidak sampai disitu saja. Sejak malam itu, keduanya menjadi dekat dan semakin akrab. Keakraban itu pun tak hanya pada diri Farah saja, namun pada Ibu dan juga adik-adiknya. Dimas sering sekali datang ke rumah Farah untuk menjenguk Ibunya atau untuk mengantarkan Farah kuliah dan menjemputnya pulang kembali.
            Setahun telah berlalu. Kini kedekatan itu pun berubah. Kedekatan yang tadinya hanya sebatas teman, kini menjadi sepasang kekasih. Ya akhirnya Farah pun membuka hatinya untuk Dimas yang tulus mencintainya dengan catatan bahwa kuliahnya tetap nomor satu. Namun itu tak menjadi sebuah penghalang cinta mereka.
            Ketika tengah asik dengan netbooknya, Farah tiba-tiba teringat suatu kejadian. Ya kejadian setahun silam dimana ia bertemu dengan seorang nenek yang ingin menyeberang dan mengatakan satu hal yang sangat menjadi beban pikirannya selama ini. “Apa Dimas yang nenek maksud ‘dia’? Apa gw bakal ngorbanin diri gw buat Dimas? Apa gw bakal mati?”. Kembali ia mengusik-usik otaknya dengan berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Belum sempat otaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan anehnya, sosok yang paling diharapkan itu pun muncul. Farah melihat nenek itu ditempat dulu mereka bertemu, persis dengan pakaian, n tongkat, tatanan rambut dan tujuan yang sama. Kali ini Farah benar-benar ingin mengantarkan nenek itu pulang agar ia dapat menemui nenek itu di rumahnya kapan aja dia mau. Namun kembali sang nenek menolak. Sama seperti satahun silam, nenek itu menatap Farah tajam dan memberinya peringatan, “Jauhi dia kalau kamu ga mau terjadi apa-apa. Kamu anak yang baik nak”. Dan sekali lagii persis dengan kejadian waktu itu, sang nenek lagsung pergi meninggalkan Farah sendiri dengan pikran yang tak menentu.
            “Lagi-lagi nenek itu berhasil ganggu pikiran gw. Apa sih maksud dia nyuruh gw jauhin Dimas? Tau apa dia tentang Dimas? Akh paling dia Cuma sok tahu aja”. Farah pun akhirnya mengacuhkan nasehat ssang nenek. Ia memutuskan untuk pulang setelah ketemu nenek itu. Di tengah jalan ia melihat seseorang yang sangat ia kenal. Orang itu tak lain tak bukan adalah Dimas, kekasih yang sangat ia cintai. “Dimas”. Panggilnya. Karena merasa namanya dipanggil, Dimas pun mencari sumber suara. Ia kaget melihat Farah datang menghampirinya. “Engg sayang, kmu kog ada disini sih, engg ngapain?” Tanya Dimas gelagapan. “Ya aku mau pulang lah sayang. Kamu ngapain disini sendiri? Kog kayaknya kaget banget sih aku datang”. “Oh, nggak kog sayang, aku surprise aja kamu datang. Engg aku disini lagi nungguin temen aku sayang, ada janji”. Kata Dimas menyangkal. “Engg sayang kamu pulang duluan aja ya, soalnya kayaknya aku masih lama disini. Ntar malam aku ke rumah kamu ya beibh, bye sayang honey bunny ku”. n.Dimas ‘mengusir’ Farah dari situ. Tanpa sedikitpun curiga Farah pun menurut.
            Kebusukan tetap saja kebusukan. Mau disimpan serapat apapun suatu saat nanti pasti akan tercium juga. Saat berada di perpustakaan daerah, Farah melihat kekasihnya sedang berduaan mesra dengan seorang gadis lain di persimpangan jalan. Tanpa pikir panjang, Farah memergoki mereka dengan segala cacianny. “Pllaaakkkk!!!!” tangn Farah mendarat tepat di pipi Dimas. Dimas kaget. Ia ga nyangka bakal ketemu Farah disaat itu. “Dasar lo laki-laki brengsek!!! Sialan lo!!! Lo piker gw cewek apaan yang dengan seenaknya lo mainin gw kayak gini”. Farah meradang. “Eh, lo tuh apa-apaan sih datang-datang main gampar tunangan orang aja”. Farah makin kaget setelah mendengar perkataan cewek yang bersama kekasihnya itu. “Apa?!! Tunangan?!! Oh, jadi lo tunangan nya Dimas. Kenalin Gw ceweknya!”. Namun Dimas menyangkal. “Eh, apa-apaan sih lo ngaku-ngaku cewek gw. Gw aja ga kenal ma lo.sana lo pergi. Ngapain lo disini”. Dimas mengusir Farah. Dasar cowok brengsek. Ga tau malu. Ga tau aturan. Farah pun meninggalkan Dimas tanpa sepatah katapun.
            Sejak putus dengan Dimas, Farah menjadi pribadi yang pendiam, tertutup, dan menyendiri. Hingga akhirnya ia lulus dan bekerja di salah satu perusahaan majalah, ia tetap menutup diri dan hatinya.
            Lagi-lagi Farah menghabiskan waktunya untuk menuangkan ide-ide kreatif yang ada dibenaknya dalam sebuah tulisan. Dan hal itu ia lakukan setiap hari Selama 2 tahun ini. Farah tengah makan siang sendiri di kantin kantornya saat handphonenya bordering. “Hallo”. Jawab Farah singkat karena yang menelfonnya adalah sebuah nomor tak dikenal. “Hallo, Farah kan”. Jawab orang diseberang telfon itu. “Ia,gw Farah, sorry siapa ya?”. “Ya ampun Far, tega lo lupa ma gw”. Farah mencoba mengingat-ingat suara siapa itu. “Anis?!”. “Hahah, kiraen lo udah lupa aja ma gw Far, hahhaa”. “Ya ampun Anis, lo apa kabar, gila ya udah lama banget gw kita ga ketemu”. “Ia nih Far, gw kangen bangtet ma lo. Gw sekarang di Australia”. “Wah, enak lo ya di ausi, ckkckc”. Percakapan antara dua orang itu pun berlangsung cukup lama.
            Setelah jam makan siang, Farah dipanggil Pak Surya, atasannya. “Permisi Pak, bapak manggil saya”. “Ia, mari Farah silahkan duduk”. Dalam ruangan nya ternyata tidak hanya ada Farah seorang, namun juga ada seorang pemuda disitu. Pak Surya pun mulai menyampaikan maksud dan tujuannya. “Jadi begini Farah, berhubung editor kamu yang lama resign, jadi sekarang kamu saya pasangkan dengan editor baru.” Kata Pak Surya sembari melihat kea rah pemuda itu. “Ga apa-apa kan Far?”. “Oh, ga apa kog Pak. Saya sih mau dipasangkan dengan editor manapun ga masaalah”. “Baiklah kalau begitu, Erick perkenalkan ini Farah, penulis handal disini, dan Farah perkenalkan ini Erick editor baru kamu”. Keduanyan saling melihat dan berjabat tangan. Seketika Farah merasakan dirinya gugup dan salah tingkah. “Duh, gw kenapa nih”. Gumam Farah dalam hati.
            Usai pulang dari kantor, Erick mendekati Farah dan menawarkan untuk pulang bersama. Farah  yang sebelumnya dingin terhadap laki-laki kini hanya mampu memnganggukan kepala.  Minta diri. “kalo gitu gw langjut ya Far”. Katanya masih dalam mobil. “Lo ga mw mampir dulu Rick, ya sekedar buat minum the gitu”. “Nggak usah deh Far, kapan-kapan aja udah sore, ga enak gw. Ok yah gw pamit”. “Oh, ok lah kalo gitu. Thanks ya Rick, hati-hati di jalan, take care”. Dipandanginya mobil itu hingga hilang dari pandangannya, baru lah Farah masuk ke rumah. Di dalam rumah, ibu dan kedua adiknya telah menantinya dengan seorang gadis.
            “Farah pulang, Bu”. Farah masuk ke dalam rumah dengan girang. Dan ia bertambah girang setelah melihat sahabat kecilnya ada bersama Ibu dan Adik-adiknya. “Anis!!!” farah langsung memeluk gadis bernama Anis itu. “Kapan lo datang Nis”. “Udah dari siang tadi sayangku”. Jawab Anis dengan mencubit hidung Farah. “Wah, berarti lo tadi ngerjain Gw donk. Dasar lo, ga berubah –berubah ya”. “Trus lo piker gw dapat nomor lo darimana kalo bukan dari Ibu. Lo sih ganti nomor ga bilang-bilang”. Farah langsung diam. “Engg sorry Nias, gw ….”. “Udah lo ga aperlu ngomong apa-apa, Ibu udah cerita kog ke gw”. Anis memeluk Farah penuh kasih sayang.
            Annisa Anggraeni adalah sahabat Farah satu-satunya. Mereka kenal sejak SD, namun mulai dekat sejak masuk ke SMP yang sama. Namun ternyata kedekatan mereka harus dipisahkan oleh ruang dan waktu, karena setelah lulus SMA Anis melanjutkan kuliahnya di Australia, sementara Farah tetap di kota Gurindam kesayangannya.
            “Gimana keadaan lo Nis?”. Tanya Farah pada Anis saat mereka berada di kamar Farah dan Anis memutuskan untuk menginap. “Ya lumayan lah Far, kayak yang lo liat gini. Tiap bulan gw harus check-up”. “Lo yang sabar ya Nis, lo pasti sembuh kog”. “Ia gw tau Far, tapi mau sampe kapan gw gini terus. Gw capek tau pulang-pergi rumah sakit buat check-up, terus makan obat yang selalu buat gw mual. Gw pengen udahan Far”. “SStttt!! Apaan sih lo Nis ngomongnya kog gitu, gw ga suka ya”. “Daripada gw gini terus Far, kasihan juga bonyok gw harus ngeluarin uang yang sangat banyak buat gw. Gw juga udah siap pergi kog”. “Anis!! Apa sih ngomongnya. Ya udah kita ga usah ngomong itu lagi ya. Gimana ma cowok lo Nis?”. “Mr.smart maksud lo?! Gw udah putus ma dia”. “Lah, kenapa putus?”. Farah kaget saat Anis bilang ia udah putus sama Mr.smart karena selama ini Anis sangat menyayangi Mr.smart begitu juga sebaliknya. “Gw ngerasa ga pantas aja buat dia Far, toh gw udah sekarat kog. Cuma karena alat-alat dokter aja makanya gw bertahan sampe sekarang. Kasihan dia Far kalo harus nikah ma gw, gw ga bisa bahagiain dia”. Seketika Air mata Anis mengalir di pipinya dan farah pun memeluk sahabatnya itu.
            Hari berganti hari, bulan pun kini telah berlalu kian cepat. Kedekatan Farah dan Erick pun semakin lengket. Namun sampai sekarang Erick belum juga menyatakan perasaannya pada Farah. Farah yang trauma akan masa lalunya kini belajar untuk membuka dirinya kembali. Saat itu Anis tengah dirawat di rumah sakit karena penyakitnya kian memburuk dan Farah datang bersama Erick untuk menjenguk Anis.
            “Gw kenalin lo ma temen gw ya, Rick. Ayo Rick masuk”. Erick mengikuti langkah Farah untuk masuk ke dalam ruang ICU, tempat Anis dirawat. Anis kaget melihat Farah datang bersama Erick. “Smart?”. Kata Anis yang ga nyangka bakal ketemu sama Mr.smart di rumah sakit. “Nisa?!”. Keduanya lalu berpelukan mesra. “Gw kangen ma lo Nis. Lo kenapa ninggalin gw gitu aja. Apa salah gw Nis. Gw sayang banget ma lo. Gw ga mau kehilangan lo”. “Gw juga sayang ma lo Smart, maafin gw yang udah ninggalin lo gitu aja, gw ga mau liat lo sedih”. Farah tercengang. Ia ga bisa ngomong apa-apa setelah tau Erick, orang yang sangat dicintainya itu ternyata Mr.smart, orang yang sangat dicintai sahabatnya sendiri. Farah jadi merasa serba salah. Marah, sedih, kecewa, semua campur aduk dalam hatinya. Farah pun memilih untuk keluar dan meninggalkan mereka berdua.
            “Ternyata Erick adalah Smart. Gw jahat banget sih bisa cinta ma dia. Kasihan Anis. Gw udah ngerebut Smart dari dia. Tapi….. gw kan ga tau. Apa salah gw cinta ma Erick?!! Dan kenapa setiap kali gw jatuh cinta, gw selalu disakitin, gw selalu kecewa. Apa cinta ga pernah memihak pada gw ?! atau apa gw ga berhak dapatin cinta dari orang yang gw sayang ?! tapi kenapa ?! gw sayang ma Erick, gw cinta ma dia. Tapi……… gw juga sayang banget ma Anis dan gw ga mungkin nyakitin dia. Dia satu-satunya sahabat yang paling ngertiin gw. Ya Tuhan, kenapa semuanya jadi seperti ini”.
            Setelah keadaan Anis membaik, Anis memutuskan untuk menikah dengan Erick. Dan segala persiapan pernikahan mereka telah dirancang oleh Farah sendiri. Ya akhirnya Farah mengalah dan tetap menyimpan perasaannya dalam-dalam terhadap Erick. Hanya Ibu dan Adik-adiknya lah yang tahu bagaimana hancurnya Farah. Namun ia sama sekali tak menunjukkan sikapnya itu didepan Anis dan juga Erick. Dia ga mau menghancurkan impian dan harapan sahabatnya itu. Biarlah rasa itu dikuburnya dalam-dalam.
            Hari itu tiba juga. Hari dimana Erick dan Anis menikah dan mengucap janji sehidup semati di depan hadapan Pastor dan segenap umat-Nya. Acara pernikahan mereka berlangsung secara sederhana. Hanya keluarga dan kerabat dekat saja yang hadir. Acara pernikahan pun kini dimulai. Namun sampai pada pengucapan janji setia, Farah dan juga Ibu beserta Adik-adiknya belum juga datang. Dihadapan pastor, Erick mengucap janji setianya yang akan menemani Anis dalam suka maupun duka, begitu juga dengan Anis. Kini tibalah pemasangan cincin dijari kedua mempelai. Namun setelah cincin terpasang di jari manis Anis, Anis jatuh pingsan. Seketika tim dokter membawa Anis kembali ke rumah sakit.
            Annisa sekarat. Kondisinya semakin memburuk. Penyakit liver yang dideritanya kian parah dan menggerogoti organ lainnya. “Anis harus segera mendapatkan donor hati untuknya”. Kata dokter yang memeriksa Anis. Keluarganya panik. Siapa yang mau mendonorkan hatinya untuk Anis?!! Erick yang ga kuat melihat keadaan Anis keluar dari ruang ICU untuk sekedar menenagkan pikirannya. “Ibu, Tara, Tari, kalin kenapa?!!!”. Erick kaget begitu melihat Ibu Farah dan adik-adiknya berlumur darah dan tergontai. “Kami kecelakaan, Nak. Mobil yang kami tumpangi menabrak sebuah truk gandeng yang melintas laju”. Jelas Ibu Farah. “Farah mana, Bu?” Tanya Erick yang teringat dengan Farah.
            Dokter keluar dari ruangan UGD yang disambut cemas oleh Ibu dan adik-adik Farah. “Bagaimana keadaan anak ya, Dok?”. “Maaf Bu, kami udah berussaha semaksimal mungkin, tapiiii……………..”. dokter diam sebentar. “Tapi Tuhan lebih sayang dengan dia”. Seketika suasana rumah sakit menjadi riuh dengan tangisan Ibu, Tara, dan Tari yang menangisi kepergian Farah. Ibu histeris dan menjerit-jerit menyesali yang telah terjadi pada Farah. Ya Farah meninggal dunia setelah kecelakaan itu.
            Di depan makam yang bertuliskan nama “FARAH SAUFIKA TRIANI”, Anis dan Erick menaburkan bunga. Tangisan Anis kembali pecah. “Maafin gw Far, gw ga pernah tau tentang perasaan lo ke Erick. Sebenarnya lo bisa aja benci ma gw. Tapi lo bener-bener sahabat gw yang paling baik Far. Bahkan disaat-saat terakhir hidup lo, lo sempat mikirin gw yang udah sekarat. Lo sempat bilang ke dokter buat nyumbangin hati lo ke gw. gw janji ma lo Far, gw janji bakal jaga hati lo baik-baik, sama kayak gw jagain Erick buat lo”.
            Nenek yang dulu bertemu Farah itu melihat Erick dan Anis dari kejauhan dan tersenyum.

Rabu, 18 April 2012

“Aku, Dia dan Mereka”


Hari ini genap setahun sudah Rara nge-kost di tempat Ibu Andar. Rara Prahasti adalah seorang mahasiswa di salah satu Universitas di pulau Jawa. Hari-hari nya dilewati dengan membaca buku dan mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Namun, sudah beberapa pekan terakhir ini Rara terlihat seperti orang linglung dan stress, mungkin ini dampak dari kegiatannya yang tak ada hentinya, karena ia selalu memforsir tugas-tugasnya.
Rara tengah sibuk dengan notebooknya saat Ia mendengar pintu kamarnya digedor-gedor. “Permisi kak”. Segera Ia membuka pintu kamarnya. Dilihatnya sekumpulan anak kecil berdiri di depan pintu. Rara hanya memperhatikan anak-anak itu sebelum akhirnya Ia bertanya “Ia, ada apa ya dek?”. “Kak, main yukk bareng kami”. Kata salah seorang dari mereka. “Hah, main apa dek?” Tanya Rara agak bingung. “Ya kita main apa aja deh kak, yang penting main, kakak jangan terlalu sibuk donk dengan tugas-tugasnya, sekali-sekali refreshing kek, biar ga kaku otaknya” Kata seorang lagi. Rara kaget. Darimana mereka tahu kalo Rara tengah sibuk dengan tugas di kampus nya. Tak Ia pungkiri kalo Ia memang membutuhkan refreshing sejenak untuk melonggarkan syraf otak yang sedari tadi dikurasnya untuk tugasnya itu. “Hmm, ok lah kita main yuk. Sebentar ya kakak matikan notebook kakak dulu”. Jawab Rara semangat yang disambut ceria oleh 4 anak itu.
“Kak, kita main lompat tali yuk”. Kata seorang anak perempuan yang lucu dengan rambut yang panjang tergurai sebahunya. “Ah, kamu Vik, hobinya main lompat tali mulu, kita main rumah-rumahan aja yuk kak”. Ajak seorang lagi, kali ini rambutnya diikat kepang 2. “Ah, apaan sih kalian nih, masa mainnya permainan jadul gitu. Kak, kita main kelereng aja yukk”. Seorang anak kecil yang tomboi menimpali. Pusing dengan tiga pilihan yang ada, akhirnya anak kecil yang sedari tadi diam pun ikut menimpali. “Ribet banget sih, mau main aja pake acara kelahi dulu. Adilnya kita main petak umpet aja deh, kalo main lompat tali kan udah sering, semalam juga kita baru abis main rumah-rumahan kan, kalo kelereng mah cuma kamu aja yang bisa, Dian, ga adil donk buat yang lain”.
“Udah udah, kita ini mau main atau mau kelahi sih. Bener tuh, adilnya kita main petak umpet aja, kan sama-sama enak jadinya. Eh, ngomong-ngomong kakak belum tahu nama kalian semua. Kamu siapa namanya manis?” Rara yang dari tadi ikut pusing mendengarkan perdebatan mereka pun mulai jengkel, lalu bertanya kepada anak manis berambut panjang itu. “Aku Vika kak”. Jawabnya lembut. “Kalo kamu siapa?”. Kini giliran si kepang dua. “Aku Bintang kak”. Katanya manja pada Rara. “Kalo kamu siapa tomboy?” Tanya Rara menggoda si tomboy. “Aku Dian Permata Ningsih kak, hehee”. “Ohh, nah sekarang giliran kamu sayang, siapa namamu?”. “Aku Susan kak”.
Setelah mengetahui nama masing-masing anak itu, Rara pun memperkenalkan diri. “Nah, kalo kakak, namanya…………”. “Rara Prahasti kan kak”. Jawab mereka serentak. “Loh, kok kalian tahu?” Tanya Rara heran. “Ya udah kita main aja yuk kak, ntar keburu sore lagi”. Bukannya menjawab pertanyaan Rara, mereka malah langsung main dan mencari tempat untuk sembunyi. “Kak Rara yang jaga ya, kami sembunyi, hhahaa”. Kata Dian sambil mencari tempat bersembunyi. Karena mereka udah lari, ga ada alasan lagi untuk Rara menahan mereka dan mencari tahu jawabannya. Rara menurut saja.
Sudah sebulan lebih Rara bermain bersama Vika, Bintang, Dian, dan Susan, dan sampai sekarang Rara belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tempo hari. Tetapi kini Rara mulai cuek, “Ah, bisa saja mereka hanya menebak dan kebetulan benar, atau mereka memang tahu namaku sejak awal aku tinggal disini”. Pikirnya saat itu.
Kini hari-hari Rara tak seperti biasa nya Ia lewati. Setiap siang hingga menjelang sore Rara selalu menghabiskan waktu dengan keempat bocah lucu nan imut itu. Terkadang mereka tidur-tiduran di kamar Rara yang kecil nan rapi itu. Sering juga mereka menghabiskn camilan Rara, dan tak sedikit kali Rara mengomel karena kamarnya dibuat berantakan. Semakin hari Rara semakin menyayangi mereka. Mereka seperti malaikat-malaikat kecil yang dikirim Tuhan untuk menemani Rara. Bahkan Rara telah menganggap mereka seperti adik Rara sendiri.
Namun, kedekatan Rara dan bocah-bocah itu ternyata mengundang kecurigaan pada seseorang yang selama ini memperhatikan Rara dari kejauhan. Dodi bingung dengan kelakuan Rara beberapa bulan terakhir ini. Dodi adalah anak kost seberang kost Rara yang juga satu kampus dengannya. Namun, karena berbeda fakultas, Rara dan Dodi tidak terlalu akrab. Walaupun begitu, diam-diam Dodi mempunyai perasaan terhadap gadis manis berlesung pipi itu. Karena Ia malu mengungkapkan perasaannya, Dodi hanya bisa memandang dan memperhatikan Rara dari kejauhan.
Karena dihantui oleh rasa penasaran, ingin tahu dan cemas, Dodi pun memberanikan diri untuk mendekatkan dirinya pada Rara. Sore itu saat Rara tengah asik bermain dengan keempat anak itu, Dodi mengahampiri Rara. “Haii”. Sapa Dodi. “Eh, haii juga”. Balas Rara dengan senyuman khasnya. “Lagi asik banget ya mainnya. Boleh gabung?”. Pancing Dodi. “Oh, ya boleh banget lah, yuk main sama kami”. Dodi tersentak!!! “kami?” gumamnya dalam hati. “Oh iya, sini aku kenalin adik-adik aku. Ini namanya Vika”. Tangan Rara mendekap Vika. “Kalo ini namanya Bintang, yang disebelah Susan, kalo yang tomboy itu Dian”. Rara memperkenalkan satu-satu adik-adiknya pada Dodi sebelum akhirnya Ia memperkenalkan dirinya. “Aku Rara, kamu siapa?”. “Aku udah tau kok nama kamu. Aku Dodi”. Lagi-lagi Rara heran, mengapa Dodi bisa tahu namanya, padahal bertemu saja baru hari ini.
Kini Dodi mengerti apa yang sedang terjadi. Namun Dodi masih kurang yakin. “Hm, kalian lagi main apa sih, asik banget.” Tanya Dodi pada Rara. “Kami lagi main rumah-rumahan nih,hehee. Eh, kok kalian pada diam gitu sih, kenapa? Tumben banget”. Rara baru sadar kalo keempat bocah itu diam sejak kehadiran Dodi. Namun Rara tak mendapatkan jaawaban dari mereka. Dodi pun menimpali “Kenapa kalian diam? Kalian ga suka ya aku gabung. Ya udah ga apa, aku pulang aja ya”. “Eh, jangan pulang donk, baru sebentar juga kamu disini.”. Rara menahan kepulangan Dodi. Namun, tak ada satupun dari keempat bocah itu yang membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa kalian diam’.
Malam itu hujan sangat lebat. Guntur, kilat serta petir manyambar-nyambar seakan berlomba untuk menyambar apa saja yang ada dihadapan mereka. Angin pun tak mau kalah dengan petir. Dikibaskannya dirinya dengan kencang yang membuat pepohonan bergoyang dan menimbulkan suara gemuruh yang amat menyeramkan. Rara sangat ketakutan, diperparah dengan padamnya lampu. Tiba-tiba Rara histeris dan menjerit. “Aaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrgggggggggghhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!”. Dodi yang mendengar teriakan Rara segera menghampiri. Kebetulan pintu kamar Rara saat itu tidak dikunci sehingga begitu sampai Dodi langsung masuk ke kamar Rara. Dilihatnya Rara terduduk lemas disudut kamar dengan nafas terengah-engah. Dodi memeluk Rara dan berusaha menenangkan gadis pujaannya. “Tenang Ra, tenang, kamu ga sendirian kok. Aku ada disamping kamu terus”. A…a….aakkuu….. aakkuu taa….taakkuuutt Dod”. Ucap Rara terpatah-patah. “Kamu jangan takut Ra, ada aku sekarang nemenin kamu disini. Aku ga akan pernah pergi ninggalin kamu”. Dodi terus berusaha menenangkan Rara. “Mereka……me…rrree…kkaa… mereka ga ada Dod, mereka ilusi. Iiii…lllluuuu…sssiii”. ”Ia Ra, aku tahu, aku tahu sebenarnya mereka ga pernah ada. Mereka datang untuk mencari pengganti kakak mereka yang mati diperkosa dan dibunuh oleh orang-orang mabuk tiga tahun lalu. Dan mereka menginginkan kamu sebagai pengganti kakak mereka. Mereka sangat menyayangi kamu dan mereka ingin kamu ikut kea lam mereka dan tinggal bersama mereka. Tapi aku mohon Ra, aku mohon kamu jangan pernah ikut mereka, jangan pernah ninggalin dunia kamu dan jangn pernah ninggalin aku.” Ucap Dodi penuh keprihatinan. “Tapi aku saying sama mereka Dod, aku ga mau kehilangan mereka, tapii…” Ucap Rara lirih. “nggak Ra!! Kamu ga boleh pergi sama mereka, tempat kamu disini sama aku, bukan  sama mereka. Ra, aku saying sama kamu. AKU…SAYANG…KAMU…. Kamu ga boleh pergi ninggalin aku” tanpa Dodi sadari, Ia menangis dan memohon agar Rara tidak pergi meninggalkannya.
Hujan bertambah lebat, angin pun semakin kencang dan sambaran kilat pun sering ‘masuk’ ke kamar Rara. Tiba-tiba Vika, Bintang, Dian dan Susan datang. Mereka berdiri di depan pintu kamar Rara. Dengan lirih dan memelas Susan meminta Rara untuk ikut bersama mereka. “kak Rara, ikut kami yuk, kami ga mau pergi tanpa kakak. Kakak saying kan sama kami. Kita kan udah janji bakal sama-sama terus kan kak. Susan mohon kakak ikut kami ya….”. “Nggak, Rara ga boleh ikut kalian. Dia bukan Meri, Meri yanag kalian cari. Dia Rara, bukan Meri!!!”. Dodi melarang Rara ikut bersama bocah-bocah itu. “San, Bin, Vik, An, abang mohon kalian pergi tanpa Rara. Rara masih punya kehidupan disini dan abang ga mau kehilangan orang yang abang sayang untuk kedua kalinya. Abang ga mau kehilangan Rara. Abang mohon sama kalian”. Rara bingung dengan ucapan Dodi barusan namun karena ketakutannya lebih besar daripada rasa ingintahunya, Rara memilih diam dalam dekapan Dodi.
“Nggak!!!! Kak Rara harus ikut dengan kami. Kak Rara adalah kakak kami. Dia pengganti kak Meri. Bg Dodi ga berhak melarang kak Rara, bang Dodi ga bisa jagain kak Rara, sama seperti bg Dodi ga bisa jagain kak Meri!!!”. Dian mulai marah dan tak sabar untuk segera membawa Rara bersamanya. “Abang akui abang ga bisa jagain Meri, tapi itu semua kecelakaan dan abang ga ada saat Meri diperkosa dan dibunuh, dan sekarang abang ga mau kehilangan orang yang abang saying lagi, NGGAAKKK!!!!”.
“CUUKKUUPP!! Udah cukup. Semua udah berakhir”. “Maafin kakak, tapi kakak ga bisa ikut kalian, kalian ga nyata, dan dunia kakak beda dengan dunia kalian. Kakak mau sekarang juga kalian pergiiiiiii!!!!!”. Seetelah menyuruh keempat bocah ilusi itu pergi, Rara jatuh pingsan. Gelap dan sunyi….
Keesokan harinya Rara bangun dengan sisa tenaganya. Ia melihat Dodi duduk disebelahnya. “Syukurlah kamu udah sadar Ra. Aku khawatir banget sama kamu”. Ucap Dodi pelan. “Aku dimana Dod? Apa yang terjadi sama aku?”. “Kamu di rumah sakit Ra, semalam kamu pingsan. Karena khawatir, aku bawa kamu kesini”. “Mereka Dod?”. Tanya Rara yang samar ingat dengan kejadian semalam. “Kamu tenang aja, semua udah berakhir, seperti yang kamu katakana pada mereka”. “Tapi, kenapa mereka datangin aku Dod?”. Rara masih bingung terhadap apa yang terjadi pada dirinya. “Mereka mencari pengganti Meri, kakak mereka dan mereka nemuin jiwa Meri dalam diri kamu. Kamu mirip banget sama Meri, Ra. Selain itu juga karena waktu itu kamu lagi stress dan depressi karena tugas kampus, makanya mereka menggunakan kesempatan itu”. “Tapi kamu tenang aja sekarang, kamu udah aman, dan aku bakal selalu disamping kamu buat jagain kamu, karena aku……”. Dodi tak melanjutkan kata-katanya, ia diam. “Aku sayang sama kamu, Dod. Aku ga mau kehilangan kamu dan tolong jangan tinggalin aku”. Dodi tersentak kaget nan bahagia. “Aku juga sayang banget sama kamu Ra, aku janji aku ga bakal ninggalin kamu apalagi sampe nyakitin kamu. Aku janji aku bakal terus disamping kamu buat jagain kamu”. Dodi langsung memeluk Rara dan mencium keningnya dengan penuh kehangatan cinta.
Dari kejauhan, tampak sosok yang sedang memperhatikan dua insan itu. “Aku senang mas kalo kamu udah bisa ngelupain aku. Aku bakal terus disamping kamu buat ngejagain kamu, aku sayang kamu mas Dodi”. Lalu sosok itu pergi menghilang bersama dengan angin yang membawanya.

Selasa, 17 April 2012

bayangan masa lalu

Ini hanya secuil kisah dari perjalanan hidupku. Satu diantara sekian juta permasalahan yang ada.
Aku hampir kehilangan masa depan dan kedua orang tuaku hanya demi orang yang baru ak kenal 5 bulan terakhir ini.
Awalnya aku yakin kalau dialah pendamping hidupku nanti, dialah yang akan  ada disampingku saat aku suka maupun susah. Namun seiring berjalan nya waktu, apa yang ku harapkan dan ku impikan semakin lama semakin menjadi mimpi buruk dan bencana untukku. Aku terjebak, kian lama aku semakin tak bisa melepaskan diriku dari dia yang awalnya segalanya untukku. Aku ingin lepas darinya, ingin menyudahi kasih sayang ini, namun aku tak bisa. Dia mempunyai kartu As ku yang selalu dia gunakan untuk mengancam ku dan mendapatkan apa yang dia mau. Semakin lama sikapnya semakin membuatku benci padanya, namun biarpun begitu, rasa sayang ini selalu lebih besar daripada rasa benciku padanya. Dan yang lebih membuat ku hancur, aku selalu membelanya didepan semua keluargaku dan rela menentang mamaku !!! Dan selalu berharap dia akan berubah.
Sekali buruk ya tetap saja buruk. Besi akan selamanya menjadi besi dan ga akan pernah menjadi emas.
Kuakui ini kesalahanku. Dari awal pertemuan, aku terlalu mudah percaya padanya, hingga kepercayaanku menjadi senjata ampuh untuknya. Aku benci!!! Benci pada diriku sendiri. Benci karna aku tak bisa menjadi diriku dan selalu mengikuti keinginan gilanya. Benci karna aku telah mengucap janji yang seharusnya ga pernah kuucapkan dan benci karna aku harus menyayanginya.
Kenapa?? kenapa harus dia yang aku sayang?? kenapa harus dia yang membuat aku kehilangan segalanya???
Penyesalan pun menghampiriku. "Aku Menyesal!!!!" begitu ucapku setiap waktuku. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku takut dia malah nekat menghancurkan keluargaku. Cukup aku yang dia hancurkan!!!
Namun seberapapun kuatnya aku menahan, dia tetap menang. Dia hancurkan aku dan keluaragaku!!! Dia hancurkan mamaku!!! Dia hancurkan papaku!!! dia hancurkan semua orang yang yang aku sayangi!!!
HANCUR !!!! SEMUA HANCUR !!!! AKU DAN KELUARGA KU MERANA KARENA DIA !!!
"Tuhan,, ampuni hamba yang telah berdosa ini". rintih ku dalam setiap doaku padaNya..
Tujuh bulan aku bersamanya, namun keindahan cinta hanya kurasakan sekejap mata. Kini, aku diambang pintu kematian. Tak kurasakan lagi indahnya hidup ini. Yang ada padaku saat ini hanya segunung penyesalan dan air mata yang selalu ku tumpahkan.
"Mama, maafkan aku yang telah durhaka padamu, aku telah banyak menyakiti dan melukai hatimu. Aku tak pantas disebut sebagai anakmu. Kini, aku ga akan pernah lagi menyakitimu mama, karna aku akan pergi darimu untuk selamanya. Bye mama ,, I LOVE YOU :*"

itulah pesan singkat yang aku tujukan untuk mamaku. Sudah kuputuskan untuk pergi meninggalkan mama dan semua orang yang ku sayang, karna aku tak mau mereka semakin tersiksa batinnya karna aku. Namun, Tuhan tak megizinkan aku melakukan hal bodoh itu. Mama mendapatkan aku tengah terkapar di dalam kamar dengan bertaburan obat di tanganku. Alangkah syok nya mama melihat aku berani melakukan hal serendah itu. Mama berteriak minta tolong, berharap ada tangan-tangan yang mau membantu mama untuk menolongku.
Secepatnya aku dibopong ke rumah sakit untuk menyelamatkan nyawaku. Mama tak sanggup menahan beban yang Ia rasakan saat itu hingga akhirnya Ia pingsan. Setelah berjam-jam aku di ruangan UGD, akhirnya aku membuka kembali mataku. Masih sangat terasa berat, tapi ku coba untuk melihat apa yang telah terjadi padaku. Ku lihat mama disampingku dengan tangisannya. Belum sempat aku meminta maaf padanya,, Ia langsung memelukku dan membisikkan kata yang terindah untukku.
"Semua udah berakhir, Nak. Tak perlu kamu sesali lagi. Sekarang tataplah hidupmu dan banggakanlah kami orangtuamu. Mama akan selalu sayang padamu apapun dan bagaimanapun kamu. Tak ada kata terlambat untuk berubah".
Empat hari aku mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit untuk mengeluarkan sisa2 kandungan obat yang tempo hari ku minum. Setelah mendapatkan persetujuan dari Dokter, keluargaku pun membawa aku pulang ke rumah. Betapa bodohnya aku telah banyak mengecewakan mama dan keluargaku yang jelas-jelas mereka sangat menyayangi aku. Sesampai di rumah, aku disambut dengan hangat oleh adik-adik ku dan kakek-nenekku yang sangat merindukanku.
Hari demi hari pun berlalu begitu cepat. Kini tiba saatnya aku menatap masa depanku. Aku meminta izin kepada orangtuaku untuk pergi ke luar kota dengan tujuan untuk mengikuti bimbel dan tes masuk Perguruan Tinggi Negeri. Dengan sangat gembira mereka mengizinkan aku pergi, tak lupa dengan segala catatan dan peringatan untuk tidak mengulangi kejadian sebelumnya. Aku merasa menjadi anak yang paling beruntung di dunia karena memiliki orangtua yang sangat menyayangi aku dan selalu menginginkan aku menjadi yang terbaik untuk mereka.
Dan hari itu pun datang. Aku segera mengemasi semua tas-tas yang akan ku bawa ke Pekanbaru, tempat dimana aku memulai hidupku yang baru tanpa gangguan dari manapun dan tempat untuk aku mulai  membanggakan orangtuaku. Berat rasanya meninggalkan mereka yang aku sayang. Mama, papa, tante, adik-adik, kakek-nenek, dan semua orang yang selalu ada saat aku membutuhkan 'tangan' mereka. Namun ini adalah keputusanku, jadi aku harus siap dengan segala konsekuensinya.
Kini, tinggallah aku seorang diri menjalani hidupku di kampung orang. Menguji kemampuan ku untuk dapat membanggakan mereka, terutama mamaku. Dan akhirnya waktu yang akan menjawab semua :)

Sabtu, 14 April 2012

sedikit goresan saja :

Di saat matahari terbit ,, kita akan merasakan panas dan tag mau melihat nya ...
tapi ,, setelah dia terbenam ,, baru lah kita menyadri betapa indah nya dia ...

begitu juga dengan seseorang yang hadir mengisi hari-hari kita ,, terasa biasa-biasa saja ...
tapi ,, setelah dia pergi , barulah kita menyadari betapa berarti nya dia bagi kita ...

itu lah hidup !!!
sayangi lah orang yang menyayangi mu hari ini ,,
karena bisa jadi dia akan pergi di saat kamu mulai menyayangi nya ...

^love story^