Rabu, 18 April 2012

“Aku, Dia dan Mereka”


Hari ini genap setahun sudah Rara nge-kost di tempat Ibu Andar. Rara Prahasti adalah seorang mahasiswa di salah satu Universitas di pulau Jawa. Hari-hari nya dilewati dengan membaca buku dan mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Namun, sudah beberapa pekan terakhir ini Rara terlihat seperti orang linglung dan stress, mungkin ini dampak dari kegiatannya yang tak ada hentinya, karena ia selalu memforsir tugas-tugasnya.
Rara tengah sibuk dengan notebooknya saat Ia mendengar pintu kamarnya digedor-gedor. “Permisi kak”. Segera Ia membuka pintu kamarnya. Dilihatnya sekumpulan anak kecil berdiri di depan pintu. Rara hanya memperhatikan anak-anak itu sebelum akhirnya Ia bertanya “Ia, ada apa ya dek?”. “Kak, main yukk bareng kami”. Kata salah seorang dari mereka. “Hah, main apa dek?” Tanya Rara agak bingung. “Ya kita main apa aja deh kak, yang penting main, kakak jangan terlalu sibuk donk dengan tugas-tugasnya, sekali-sekali refreshing kek, biar ga kaku otaknya” Kata seorang lagi. Rara kaget. Darimana mereka tahu kalo Rara tengah sibuk dengan tugas di kampus nya. Tak Ia pungkiri kalo Ia memang membutuhkan refreshing sejenak untuk melonggarkan syraf otak yang sedari tadi dikurasnya untuk tugasnya itu. “Hmm, ok lah kita main yuk. Sebentar ya kakak matikan notebook kakak dulu”. Jawab Rara semangat yang disambut ceria oleh 4 anak itu.
“Kak, kita main lompat tali yuk”. Kata seorang anak perempuan yang lucu dengan rambut yang panjang tergurai sebahunya. “Ah, kamu Vik, hobinya main lompat tali mulu, kita main rumah-rumahan aja yuk kak”. Ajak seorang lagi, kali ini rambutnya diikat kepang 2. “Ah, apaan sih kalian nih, masa mainnya permainan jadul gitu. Kak, kita main kelereng aja yukk”. Seorang anak kecil yang tomboi menimpali. Pusing dengan tiga pilihan yang ada, akhirnya anak kecil yang sedari tadi diam pun ikut menimpali. “Ribet banget sih, mau main aja pake acara kelahi dulu. Adilnya kita main petak umpet aja deh, kalo main lompat tali kan udah sering, semalam juga kita baru abis main rumah-rumahan kan, kalo kelereng mah cuma kamu aja yang bisa, Dian, ga adil donk buat yang lain”.
“Udah udah, kita ini mau main atau mau kelahi sih. Bener tuh, adilnya kita main petak umpet aja, kan sama-sama enak jadinya. Eh, ngomong-ngomong kakak belum tahu nama kalian semua. Kamu siapa namanya manis?” Rara yang dari tadi ikut pusing mendengarkan perdebatan mereka pun mulai jengkel, lalu bertanya kepada anak manis berambut panjang itu. “Aku Vika kak”. Jawabnya lembut. “Kalo kamu siapa?”. Kini giliran si kepang dua. “Aku Bintang kak”. Katanya manja pada Rara. “Kalo kamu siapa tomboy?” Tanya Rara menggoda si tomboy. “Aku Dian Permata Ningsih kak, hehee”. “Ohh, nah sekarang giliran kamu sayang, siapa namamu?”. “Aku Susan kak”.
Setelah mengetahui nama masing-masing anak itu, Rara pun memperkenalkan diri. “Nah, kalo kakak, namanya…………”. “Rara Prahasti kan kak”. Jawab mereka serentak. “Loh, kok kalian tahu?” Tanya Rara heran. “Ya udah kita main aja yuk kak, ntar keburu sore lagi”. Bukannya menjawab pertanyaan Rara, mereka malah langsung main dan mencari tempat untuk sembunyi. “Kak Rara yang jaga ya, kami sembunyi, hhahaa”. Kata Dian sambil mencari tempat bersembunyi. Karena mereka udah lari, ga ada alasan lagi untuk Rara menahan mereka dan mencari tahu jawabannya. Rara menurut saja.
Sudah sebulan lebih Rara bermain bersama Vika, Bintang, Dian, dan Susan, dan sampai sekarang Rara belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tempo hari. Tetapi kini Rara mulai cuek, “Ah, bisa saja mereka hanya menebak dan kebetulan benar, atau mereka memang tahu namaku sejak awal aku tinggal disini”. Pikirnya saat itu.
Kini hari-hari Rara tak seperti biasa nya Ia lewati. Setiap siang hingga menjelang sore Rara selalu menghabiskan waktu dengan keempat bocah lucu nan imut itu. Terkadang mereka tidur-tiduran di kamar Rara yang kecil nan rapi itu. Sering juga mereka menghabiskn camilan Rara, dan tak sedikit kali Rara mengomel karena kamarnya dibuat berantakan. Semakin hari Rara semakin menyayangi mereka. Mereka seperti malaikat-malaikat kecil yang dikirim Tuhan untuk menemani Rara. Bahkan Rara telah menganggap mereka seperti adik Rara sendiri.
Namun, kedekatan Rara dan bocah-bocah itu ternyata mengundang kecurigaan pada seseorang yang selama ini memperhatikan Rara dari kejauhan. Dodi bingung dengan kelakuan Rara beberapa bulan terakhir ini. Dodi adalah anak kost seberang kost Rara yang juga satu kampus dengannya. Namun, karena berbeda fakultas, Rara dan Dodi tidak terlalu akrab. Walaupun begitu, diam-diam Dodi mempunyai perasaan terhadap gadis manis berlesung pipi itu. Karena Ia malu mengungkapkan perasaannya, Dodi hanya bisa memandang dan memperhatikan Rara dari kejauhan.
Karena dihantui oleh rasa penasaran, ingin tahu dan cemas, Dodi pun memberanikan diri untuk mendekatkan dirinya pada Rara. Sore itu saat Rara tengah asik bermain dengan keempat anak itu, Dodi mengahampiri Rara. “Haii”. Sapa Dodi. “Eh, haii juga”. Balas Rara dengan senyuman khasnya. “Lagi asik banget ya mainnya. Boleh gabung?”. Pancing Dodi. “Oh, ya boleh banget lah, yuk main sama kami”. Dodi tersentak!!! “kami?” gumamnya dalam hati. “Oh iya, sini aku kenalin adik-adik aku. Ini namanya Vika”. Tangan Rara mendekap Vika. “Kalo ini namanya Bintang, yang disebelah Susan, kalo yang tomboy itu Dian”. Rara memperkenalkan satu-satu adik-adiknya pada Dodi sebelum akhirnya Ia memperkenalkan dirinya. “Aku Rara, kamu siapa?”. “Aku udah tau kok nama kamu. Aku Dodi”. Lagi-lagi Rara heran, mengapa Dodi bisa tahu namanya, padahal bertemu saja baru hari ini.
Kini Dodi mengerti apa yang sedang terjadi. Namun Dodi masih kurang yakin. “Hm, kalian lagi main apa sih, asik banget.” Tanya Dodi pada Rara. “Kami lagi main rumah-rumahan nih,hehee. Eh, kok kalian pada diam gitu sih, kenapa? Tumben banget”. Rara baru sadar kalo keempat bocah itu diam sejak kehadiran Dodi. Namun Rara tak mendapatkan jaawaban dari mereka. Dodi pun menimpali “Kenapa kalian diam? Kalian ga suka ya aku gabung. Ya udah ga apa, aku pulang aja ya”. “Eh, jangan pulang donk, baru sebentar juga kamu disini.”. Rara menahan kepulangan Dodi. Namun, tak ada satupun dari keempat bocah itu yang membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa kalian diam’.
Malam itu hujan sangat lebat. Guntur, kilat serta petir manyambar-nyambar seakan berlomba untuk menyambar apa saja yang ada dihadapan mereka. Angin pun tak mau kalah dengan petir. Dikibaskannya dirinya dengan kencang yang membuat pepohonan bergoyang dan menimbulkan suara gemuruh yang amat menyeramkan. Rara sangat ketakutan, diperparah dengan padamnya lampu. Tiba-tiba Rara histeris dan menjerit. “Aaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrgggggggggghhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!”. Dodi yang mendengar teriakan Rara segera menghampiri. Kebetulan pintu kamar Rara saat itu tidak dikunci sehingga begitu sampai Dodi langsung masuk ke kamar Rara. Dilihatnya Rara terduduk lemas disudut kamar dengan nafas terengah-engah. Dodi memeluk Rara dan berusaha menenangkan gadis pujaannya. “Tenang Ra, tenang, kamu ga sendirian kok. Aku ada disamping kamu terus”. A…a….aakkuu….. aakkuu taa….taakkuuutt Dod”. Ucap Rara terpatah-patah. “Kamu jangan takut Ra, ada aku sekarang nemenin kamu disini. Aku ga akan pernah pergi ninggalin kamu”. Dodi terus berusaha menenangkan Rara. “Mereka……me…rrree…kkaa… mereka ga ada Dod, mereka ilusi. Iiii…lllluuuu…sssiii”. ”Ia Ra, aku tahu, aku tahu sebenarnya mereka ga pernah ada. Mereka datang untuk mencari pengganti kakak mereka yang mati diperkosa dan dibunuh oleh orang-orang mabuk tiga tahun lalu. Dan mereka menginginkan kamu sebagai pengganti kakak mereka. Mereka sangat menyayangi kamu dan mereka ingin kamu ikut kea lam mereka dan tinggal bersama mereka. Tapi aku mohon Ra, aku mohon kamu jangan pernah ikut mereka, jangan pernah ninggalin dunia kamu dan jangn pernah ninggalin aku.” Ucap Dodi penuh keprihatinan. “Tapi aku saying sama mereka Dod, aku ga mau kehilangan mereka, tapii…” Ucap Rara lirih. “nggak Ra!! Kamu ga boleh pergi sama mereka, tempat kamu disini sama aku, bukan  sama mereka. Ra, aku saying sama kamu. AKU…SAYANG…KAMU…. Kamu ga boleh pergi ninggalin aku” tanpa Dodi sadari, Ia menangis dan memohon agar Rara tidak pergi meninggalkannya.
Hujan bertambah lebat, angin pun semakin kencang dan sambaran kilat pun sering ‘masuk’ ke kamar Rara. Tiba-tiba Vika, Bintang, Dian dan Susan datang. Mereka berdiri di depan pintu kamar Rara. Dengan lirih dan memelas Susan meminta Rara untuk ikut bersama mereka. “kak Rara, ikut kami yuk, kami ga mau pergi tanpa kakak. Kakak saying kan sama kami. Kita kan udah janji bakal sama-sama terus kan kak. Susan mohon kakak ikut kami ya….”. “Nggak, Rara ga boleh ikut kalian. Dia bukan Meri, Meri yanag kalian cari. Dia Rara, bukan Meri!!!”. Dodi melarang Rara ikut bersama bocah-bocah itu. “San, Bin, Vik, An, abang mohon kalian pergi tanpa Rara. Rara masih punya kehidupan disini dan abang ga mau kehilangan orang yang abang sayang untuk kedua kalinya. Abang ga mau kehilangan Rara. Abang mohon sama kalian”. Rara bingung dengan ucapan Dodi barusan namun karena ketakutannya lebih besar daripada rasa ingintahunya, Rara memilih diam dalam dekapan Dodi.
“Nggak!!!! Kak Rara harus ikut dengan kami. Kak Rara adalah kakak kami. Dia pengganti kak Meri. Bg Dodi ga berhak melarang kak Rara, bang Dodi ga bisa jagain kak Rara, sama seperti bg Dodi ga bisa jagain kak Meri!!!”. Dian mulai marah dan tak sabar untuk segera membawa Rara bersamanya. “Abang akui abang ga bisa jagain Meri, tapi itu semua kecelakaan dan abang ga ada saat Meri diperkosa dan dibunuh, dan sekarang abang ga mau kehilangan orang yang abang saying lagi, NGGAAKKK!!!!”.
“CUUKKUUPP!! Udah cukup. Semua udah berakhir”. “Maafin kakak, tapi kakak ga bisa ikut kalian, kalian ga nyata, dan dunia kakak beda dengan dunia kalian. Kakak mau sekarang juga kalian pergiiiiiii!!!!!”. Seetelah menyuruh keempat bocah ilusi itu pergi, Rara jatuh pingsan. Gelap dan sunyi….
Keesokan harinya Rara bangun dengan sisa tenaganya. Ia melihat Dodi duduk disebelahnya. “Syukurlah kamu udah sadar Ra. Aku khawatir banget sama kamu”. Ucap Dodi pelan. “Aku dimana Dod? Apa yang terjadi sama aku?”. “Kamu di rumah sakit Ra, semalam kamu pingsan. Karena khawatir, aku bawa kamu kesini”. “Mereka Dod?”. Tanya Rara yang samar ingat dengan kejadian semalam. “Kamu tenang aja, semua udah berakhir, seperti yang kamu katakana pada mereka”. “Tapi, kenapa mereka datangin aku Dod?”. Rara masih bingung terhadap apa yang terjadi pada dirinya. “Mereka mencari pengganti Meri, kakak mereka dan mereka nemuin jiwa Meri dalam diri kamu. Kamu mirip banget sama Meri, Ra. Selain itu juga karena waktu itu kamu lagi stress dan depressi karena tugas kampus, makanya mereka menggunakan kesempatan itu”. “Tapi kamu tenang aja sekarang, kamu udah aman, dan aku bakal selalu disamping kamu buat jagain kamu, karena aku……”. Dodi tak melanjutkan kata-katanya, ia diam. “Aku sayang sama kamu, Dod. Aku ga mau kehilangan kamu dan tolong jangan tinggalin aku”. Dodi tersentak kaget nan bahagia. “Aku juga sayang banget sama kamu Ra, aku janji aku ga bakal ninggalin kamu apalagi sampe nyakitin kamu. Aku janji aku bakal terus disamping kamu buat jagain kamu”. Dodi langsung memeluk Rara dan mencium keningnya dengan penuh kehangatan cinta.
Dari kejauhan, tampak sosok yang sedang memperhatikan dua insan itu. “Aku senang mas kalo kamu udah bisa ngelupain aku. Aku bakal terus disamping kamu buat ngejagain kamu, aku sayang kamu mas Dodi”. Lalu sosok itu pergi menghilang bersama dengan angin yang membawanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar