Sabtu, 21 April 2012

Gadis Berkemeja Biru


Sore itu keadaan kota semraut banget. Banyak kendaraan lalu lalang tanpa mengindahkan lampu lalu lintas dan pejalan kaki. Terdengar bunyi klakson disana-sini, caci-makian pun turut meramaikan suasana kota Gurindam. Farah pun melangkahkan kakinya  dengan hati-hati karena pengendara motor kerap mengambil jalan yang dikhususkan untuk pejalan kaki. Seketika langkah Farah benar-benar berhenti saat ada motor yang hendak menabraknya. “Woii!!! Punya mata ga sih lo. Jalan lo tuh disana bukan disini”. Namun makian Farah tak digubris sama sekali oleh pengendara motor itu. “Dasar gila!! Udah ada jalan sendiri masih aja ngambil jalan orang. Gw sumpahin lo jatoh dari tuh motor”. Umpat Farah kesal karena dirinya nyaris saja disenggol motor berjenis FU itu.
            Namun, walaupun begitu langkah Farah tak berhenti di trotoar jalan. Ia tetap melanjutkan perjalanannya menuju tempat favorit yang selalu Ia datangi. Farah sampai ditempat itu saat Ia melihat seorang nenek ingin menyeberangi jalan. Namun karena keadaan jalan yang sangat ga karuan itu, sang nenek ga berani menyeberang. Karena Ia iba dengan sang nenek, Ia datang menghampiri nenek yang sudah memakai bantuan tongakat untuk berjalan itu. “Nenek mau nyeberang ya?” Tanyanya halus. “Ia nak, tapi nenek ga berani, soalnya dari tadi motor-motornya pada ngebut semua, nenek ga dikasih kesempatan buat nyeberang”. Jawab nenek yang diselingi dengan batuknya. “Mari Nek saya bantuin”. Sang nenek pun menurut pada Farah. Digenggamnya tangan Farah erat lalu mengikuti langkah Farah menuju seberang jalan.
            Setelah sampai di seberang jalan, Farah kembali bertanya, “Nenek mau kemana, nek?”. “Nenek mau pulang Nak, kesana”. Jawab nenek sambil menunjuk ke arah barat yang diikuti oleh pandangan Farah. “Saya antar nenek pulang ya”. “Oh, ga usah Nak, kamu nolong nenek nyeberang aja nenek udah senang. Dijaman sekarang jarang ada anak muda yang peduli sama orang yang renta kayak nenek gini”. Jawab nenek itu tajam. “Ah, nenek bisa aja. Nenek ga boleh ngomong gitu, masih ada banyak yang peduli terhadap orang-orang kayak nenek”. Tiba-tiba nenek itu memegang pipi Farah. Diamatinya dalam-dalam wajah imut berkacamata itu, sebelum akhirnya Ia berlalu. Namun, ia membalikkan kembali badannya dan menatap Farah. “Kasihan kamu Nak, anak sebaik kamu harus mengorbankan hidupmu”. Sontak Farah kaget dengan ucapan nenek, “Maksud nenek apa nek?”. Namun pertanyaan itu diacuhkan oleh nenek, ia membalikkan lagi tubuh kecilnya dan berjalan kearah barat dimana matahari ikut menenggelamkan dirinya.
            Pikiran Farah masih melayang pada perkataan nenek tadi saat pelayan cafe menyadarkannya. “Permisi mbak, ini pesanannya”. Kata pelayan itu penuh sopan sembari meletakkan minuman yang tadi dipesan Farah. “Oh iya mas, makasih ya”. Namun pikirannya kembali lagi pada perkataan nenek itu. “Kasihan kamu Nak, anak sebaik kamu harus mengorbankan hidupmu”. Kata-kata itu terus mengiang di telinganya. “Apa maksud nenek itu ya? Kog dia bisa ngomong gitu? Siapa ‘dia’ yang nenek maksud? Kenapa aku mau mengorbankan hidupku untuknya?”. Banyak pertanyaan yang tinggal dalam benaknya, namun semua terasa sia-sia karena sekeras apapun ia berpikir ia takkan  mendapatkan jawaban.
            Pertanyaan nenek itu berhasil mengerumuni pikiran Farah. Farah yang biasanya aktif didepan netbook mungilnya dengan cekatan-cekatan jarinya, kini hanya diam mematung memandangi layar. “Sssshhhhh”. Farah menarik nafas panjang. Tiba-tiba Farah merasakan badannya hangat. “Duh, kog aku jadi panas gini ya, lemes banget badanku”. Ucapnya sembari memegang tengkuknya. Karena merasa kondisinya melemah, ia putuskan untuk beranjak dari café itu dan pulang ke rumah.
            Farah langsung menjatuhkan dirinya saat tiba di kamarnya. Pandangannya kosong menatap jendela kamarnya yang belum ditutup. Lama kelamaan matanya mulai menutup dan pikirannya mulai kosong. Ia tak melawan rasa itu hingga akhirnya ia benar-benar tidur pulas.
            Farah mulai mengacuhkan pertanyaan nenek itu setelah sepekan lamanya ia menanti sang nenek di tempat kemarin yang hasilnya nihil. Apa yang ditunggu-tunggunya tak pernah lagi menampakkan dirinya. Farah memang mulai mengacuhkan pertanyaan sang nenek namun bukan berarti ia melupakannya.
            Kembali Farah ke café tempat biasa ia menyibukkan diri bersama netbook tercintanya. Seperti biasa ia duduk ditempat pertama disamping pintu masuk dengan memakai kemeja biru kesayangannya. Ia duduk dan memanggil pelayan serta memesan minuman kesukaannya. Sembari menunggu pesanannya, ia mulai memainkan jari-jarinya diatas keyboard netbooknya. Kadang berpikir, kadang mengetik, kadang melamun. Ya beginilah keseharian Farah. Setelah siap kuliah Ia langsung ke café Capuchii yang terletak 2 km dari kampusnya dan menuangkan ide-ide kreatifnya dalam sebuah tulisan.
            Saat ini Farah  sedang menjalani program S1 dan sudah memasuki semester 5  di salah satu universitas di kotanya. Ia yang bercita-cita menjadi seorang penulis pun memilih mengambil fakultas sastra di universitas tersebut. Gadis berambut pendek sebahu dan berkacamata ini belum pernah merasakan indahnya masa-masa bersama sang kekasih karena terlalu sibuk memikirkan kuliahnya. Namun bukan berarti ia ga pernah jatuh cinta. Hanya saja perasaan itu kerap diabaikan olehnya karena takut mengganggu kuliahnya. Tak sedikit pria yang mencoba mendekati dirinya, namun tak seorang pun yang benar-benar mencuri hati gadis ini. Meski demikian, ia tak terlalu pusing memikirkannya, karena baginya karir dan cita-cita adalah nomor satu. Setelah sukses dalam berkarya, ia yakin pangerannya pun akan datang untuk meminangnya.
            Farah Saufika Triani adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana. Ayahnya telah lama meniggal dunia karena kecelakaan saat bekerja sebagai tukang bangunan. Ibunya pun sedang sakit parah dan Farah lah yang menjadi tulang punggung untuk keluarganya. Meski menjadi tulang punggung, ia mendapatkan pekerjaan yang mampu membayarnya besar setiap bulannya. Hingga akhirnya ia tidak terlalu mencemasi nasib Ibu beserta kedua adiknya, karena penghasilannya sebulan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tapi semua itu tidak membuatnya congkak dan besar hati.
            Malam itu telah menunjukkan pukul 10 malam saat Farah beranjak dari café Capuchii dan berjalan pulang. Farah berjalan menyusuri lorong-lorong kecil untuk sampai ke rumahnya. Di pertengahan jalan, seorang pemuda yang sedang memegang botol minuman menahan Farah. “Mau kemana, neng? Temenin abang yukk, abang kesepian nih”. Goda pemuda abertato itu. Karena kesal ucapannya tidak digubris Farah, pemuda itu mulai panas. Ia memaksa Farah untuk ikut bersamanya. “Tolong..!!!Tolong…!!!”. Farah berteriak berharap ada yang menolongnya. “Buukkkk!!!!”. Tiba-tiba pemuda itu pingsan dan melepaskan Farah. Farah kaget. Dilihatnya ke arah belakang pemuda itu. Sesosok pria tampan tengah berdiri dengan beton ditangannya. Karena ketakutan Farah langsung memeluk pria itu. “Udah tenang aja, lo dah aman sekarang”. Ujar pria berbadan tegap itu sambil mengelus rambut Farah. Farah segera melepaskan pelukannya, “Hmm,, sorry, gw ga sengaja, tadi reflex aja karna gw takut. Btw, makasih banyak ya lo dah nolong gw, kalo ga ada lo tadi, gw gat w apa jadinya gw, mungkinnnnnn”. “Sttt,, lo ga boleh mikir yang nggak nggak gitu. Sekarang lo dah aman kog. Ga ada yang perlu lo khawatirkan lagi. Gw anatarfin lo pulang ya”.
            Pertemuan itu ternyata tidak sampai disitu saja. Sejak malam itu, keduanya menjadi dekat dan semakin akrab. Keakraban itu pun tak hanya pada diri Farah saja, namun pada Ibu dan juga adik-adiknya. Dimas sering sekali datang ke rumah Farah untuk menjenguk Ibunya atau untuk mengantarkan Farah kuliah dan menjemputnya pulang kembali.
            Setahun telah berlalu. Kini kedekatan itu pun berubah. Kedekatan yang tadinya hanya sebatas teman, kini menjadi sepasang kekasih. Ya akhirnya Farah pun membuka hatinya untuk Dimas yang tulus mencintainya dengan catatan bahwa kuliahnya tetap nomor satu. Namun itu tak menjadi sebuah penghalang cinta mereka.
            Ketika tengah asik dengan netbooknya, Farah tiba-tiba teringat suatu kejadian. Ya kejadian setahun silam dimana ia bertemu dengan seorang nenek yang ingin menyeberang dan mengatakan satu hal yang sangat menjadi beban pikirannya selama ini. “Apa Dimas yang nenek maksud ‘dia’? Apa gw bakal ngorbanin diri gw buat Dimas? Apa gw bakal mati?”. Kembali ia mengusik-usik otaknya dengan berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawabnya. Belum sempat otaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan anehnya, sosok yang paling diharapkan itu pun muncul. Farah melihat nenek itu ditempat dulu mereka bertemu, persis dengan pakaian, n tongkat, tatanan rambut dan tujuan yang sama. Kali ini Farah benar-benar ingin mengantarkan nenek itu pulang agar ia dapat menemui nenek itu di rumahnya kapan aja dia mau. Namun kembali sang nenek menolak. Sama seperti satahun silam, nenek itu menatap Farah tajam dan memberinya peringatan, “Jauhi dia kalau kamu ga mau terjadi apa-apa. Kamu anak yang baik nak”. Dan sekali lagii persis dengan kejadian waktu itu, sang nenek lagsung pergi meninggalkan Farah sendiri dengan pikran yang tak menentu.
            “Lagi-lagi nenek itu berhasil ganggu pikiran gw. Apa sih maksud dia nyuruh gw jauhin Dimas? Tau apa dia tentang Dimas? Akh paling dia Cuma sok tahu aja”. Farah pun akhirnya mengacuhkan nasehat ssang nenek. Ia memutuskan untuk pulang setelah ketemu nenek itu. Di tengah jalan ia melihat seseorang yang sangat ia kenal. Orang itu tak lain tak bukan adalah Dimas, kekasih yang sangat ia cintai. “Dimas”. Panggilnya. Karena merasa namanya dipanggil, Dimas pun mencari sumber suara. Ia kaget melihat Farah datang menghampirinya. “Engg sayang, kmu kog ada disini sih, engg ngapain?” Tanya Dimas gelagapan. “Ya aku mau pulang lah sayang. Kamu ngapain disini sendiri? Kog kayaknya kaget banget sih aku datang”. “Oh, nggak kog sayang, aku surprise aja kamu datang. Engg aku disini lagi nungguin temen aku sayang, ada janji”. Kata Dimas menyangkal. “Engg sayang kamu pulang duluan aja ya, soalnya kayaknya aku masih lama disini. Ntar malam aku ke rumah kamu ya beibh, bye sayang honey bunny ku”. n.Dimas ‘mengusir’ Farah dari situ. Tanpa sedikitpun curiga Farah pun menurut.
            Kebusukan tetap saja kebusukan. Mau disimpan serapat apapun suatu saat nanti pasti akan tercium juga. Saat berada di perpustakaan daerah, Farah melihat kekasihnya sedang berduaan mesra dengan seorang gadis lain di persimpangan jalan. Tanpa pikir panjang, Farah memergoki mereka dengan segala cacianny. “Pllaaakkkk!!!!” tangn Farah mendarat tepat di pipi Dimas. Dimas kaget. Ia ga nyangka bakal ketemu Farah disaat itu. “Dasar lo laki-laki brengsek!!! Sialan lo!!! Lo piker gw cewek apaan yang dengan seenaknya lo mainin gw kayak gini”. Farah meradang. “Eh, lo tuh apa-apaan sih datang-datang main gampar tunangan orang aja”. Farah makin kaget setelah mendengar perkataan cewek yang bersama kekasihnya itu. “Apa?!! Tunangan?!! Oh, jadi lo tunangan nya Dimas. Kenalin Gw ceweknya!”. Namun Dimas menyangkal. “Eh, apa-apaan sih lo ngaku-ngaku cewek gw. Gw aja ga kenal ma lo.sana lo pergi. Ngapain lo disini”. Dimas mengusir Farah. Dasar cowok brengsek. Ga tau malu. Ga tau aturan. Farah pun meninggalkan Dimas tanpa sepatah katapun.
            Sejak putus dengan Dimas, Farah menjadi pribadi yang pendiam, tertutup, dan menyendiri. Hingga akhirnya ia lulus dan bekerja di salah satu perusahaan majalah, ia tetap menutup diri dan hatinya.
            Lagi-lagi Farah menghabiskan waktunya untuk menuangkan ide-ide kreatif yang ada dibenaknya dalam sebuah tulisan. Dan hal itu ia lakukan setiap hari Selama 2 tahun ini. Farah tengah makan siang sendiri di kantin kantornya saat handphonenya bordering. “Hallo”. Jawab Farah singkat karena yang menelfonnya adalah sebuah nomor tak dikenal. “Hallo, Farah kan”. Jawab orang diseberang telfon itu. “Ia,gw Farah, sorry siapa ya?”. “Ya ampun Far, tega lo lupa ma gw”. Farah mencoba mengingat-ingat suara siapa itu. “Anis?!”. “Hahah, kiraen lo udah lupa aja ma gw Far, hahhaa”. “Ya ampun Anis, lo apa kabar, gila ya udah lama banget gw kita ga ketemu”. “Ia nih Far, gw kangen bangtet ma lo. Gw sekarang di Australia”. “Wah, enak lo ya di ausi, ckkckc”. Percakapan antara dua orang itu pun berlangsung cukup lama.
            Setelah jam makan siang, Farah dipanggil Pak Surya, atasannya. “Permisi Pak, bapak manggil saya”. “Ia, mari Farah silahkan duduk”. Dalam ruangan nya ternyata tidak hanya ada Farah seorang, namun juga ada seorang pemuda disitu. Pak Surya pun mulai menyampaikan maksud dan tujuannya. “Jadi begini Farah, berhubung editor kamu yang lama resign, jadi sekarang kamu saya pasangkan dengan editor baru.” Kata Pak Surya sembari melihat kea rah pemuda itu. “Ga apa-apa kan Far?”. “Oh, ga apa kog Pak. Saya sih mau dipasangkan dengan editor manapun ga masaalah”. “Baiklah kalau begitu, Erick perkenalkan ini Farah, penulis handal disini, dan Farah perkenalkan ini Erick editor baru kamu”. Keduanyan saling melihat dan berjabat tangan. Seketika Farah merasakan dirinya gugup dan salah tingkah. “Duh, gw kenapa nih”. Gumam Farah dalam hati.
            Usai pulang dari kantor, Erick mendekati Farah dan menawarkan untuk pulang bersama. Farah  yang sebelumnya dingin terhadap laki-laki kini hanya mampu memnganggukan kepala.  Minta diri. “kalo gitu gw langjut ya Far”. Katanya masih dalam mobil. “Lo ga mw mampir dulu Rick, ya sekedar buat minum the gitu”. “Nggak usah deh Far, kapan-kapan aja udah sore, ga enak gw. Ok yah gw pamit”. “Oh, ok lah kalo gitu. Thanks ya Rick, hati-hati di jalan, take care”. Dipandanginya mobil itu hingga hilang dari pandangannya, baru lah Farah masuk ke rumah. Di dalam rumah, ibu dan kedua adiknya telah menantinya dengan seorang gadis.
            “Farah pulang, Bu”. Farah masuk ke dalam rumah dengan girang. Dan ia bertambah girang setelah melihat sahabat kecilnya ada bersama Ibu dan Adik-adiknya. “Anis!!!” farah langsung memeluk gadis bernama Anis itu. “Kapan lo datang Nis”. “Udah dari siang tadi sayangku”. Jawab Anis dengan mencubit hidung Farah. “Wah, berarti lo tadi ngerjain Gw donk. Dasar lo, ga berubah –berubah ya”. “Trus lo piker gw dapat nomor lo darimana kalo bukan dari Ibu. Lo sih ganti nomor ga bilang-bilang”. Farah langsung diam. “Engg sorry Nias, gw ….”. “Udah lo ga aperlu ngomong apa-apa, Ibu udah cerita kog ke gw”. Anis memeluk Farah penuh kasih sayang.
            Annisa Anggraeni adalah sahabat Farah satu-satunya. Mereka kenal sejak SD, namun mulai dekat sejak masuk ke SMP yang sama. Namun ternyata kedekatan mereka harus dipisahkan oleh ruang dan waktu, karena setelah lulus SMA Anis melanjutkan kuliahnya di Australia, sementara Farah tetap di kota Gurindam kesayangannya.
            “Gimana keadaan lo Nis?”. Tanya Farah pada Anis saat mereka berada di kamar Farah dan Anis memutuskan untuk menginap. “Ya lumayan lah Far, kayak yang lo liat gini. Tiap bulan gw harus check-up”. “Lo yang sabar ya Nis, lo pasti sembuh kog”. “Ia gw tau Far, tapi mau sampe kapan gw gini terus. Gw capek tau pulang-pergi rumah sakit buat check-up, terus makan obat yang selalu buat gw mual. Gw pengen udahan Far”. “SStttt!! Apaan sih lo Nis ngomongnya kog gitu, gw ga suka ya”. “Daripada gw gini terus Far, kasihan juga bonyok gw harus ngeluarin uang yang sangat banyak buat gw. Gw juga udah siap pergi kog”. “Anis!! Apa sih ngomongnya. Ya udah kita ga usah ngomong itu lagi ya. Gimana ma cowok lo Nis?”. “Mr.smart maksud lo?! Gw udah putus ma dia”. “Lah, kenapa putus?”. Farah kaget saat Anis bilang ia udah putus sama Mr.smart karena selama ini Anis sangat menyayangi Mr.smart begitu juga sebaliknya. “Gw ngerasa ga pantas aja buat dia Far, toh gw udah sekarat kog. Cuma karena alat-alat dokter aja makanya gw bertahan sampe sekarang. Kasihan dia Far kalo harus nikah ma gw, gw ga bisa bahagiain dia”. Seketika Air mata Anis mengalir di pipinya dan farah pun memeluk sahabatnya itu.
            Hari berganti hari, bulan pun kini telah berlalu kian cepat. Kedekatan Farah dan Erick pun semakin lengket. Namun sampai sekarang Erick belum juga menyatakan perasaannya pada Farah. Farah yang trauma akan masa lalunya kini belajar untuk membuka dirinya kembali. Saat itu Anis tengah dirawat di rumah sakit karena penyakitnya kian memburuk dan Farah datang bersama Erick untuk menjenguk Anis.
            “Gw kenalin lo ma temen gw ya, Rick. Ayo Rick masuk”. Erick mengikuti langkah Farah untuk masuk ke dalam ruang ICU, tempat Anis dirawat. Anis kaget melihat Farah datang bersama Erick. “Smart?”. Kata Anis yang ga nyangka bakal ketemu sama Mr.smart di rumah sakit. “Nisa?!”. Keduanya lalu berpelukan mesra. “Gw kangen ma lo Nis. Lo kenapa ninggalin gw gitu aja. Apa salah gw Nis. Gw sayang banget ma lo. Gw ga mau kehilangan lo”. “Gw juga sayang ma lo Smart, maafin gw yang udah ninggalin lo gitu aja, gw ga mau liat lo sedih”. Farah tercengang. Ia ga bisa ngomong apa-apa setelah tau Erick, orang yang sangat dicintainya itu ternyata Mr.smart, orang yang sangat dicintai sahabatnya sendiri. Farah jadi merasa serba salah. Marah, sedih, kecewa, semua campur aduk dalam hatinya. Farah pun memilih untuk keluar dan meninggalkan mereka berdua.
            “Ternyata Erick adalah Smart. Gw jahat banget sih bisa cinta ma dia. Kasihan Anis. Gw udah ngerebut Smart dari dia. Tapi….. gw kan ga tau. Apa salah gw cinta ma Erick?!! Dan kenapa setiap kali gw jatuh cinta, gw selalu disakitin, gw selalu kecewa. Apa cinta ga pernah memihak pada gw ?! atau apa gw ga berhak dapatin cinta dari orang yang gw sayang ?! tapi kenapa ?! gw sayang ma Erick, gw cinta ma dia. Tapi……… gw juga sayang banget ma Anis dan gw ga mungkin nyakitin dia. Dia satu-satunya sahabat yang paling ngertiin gw. Ya Tuhan, kenapa semuanya jadi seperti ini”.
            Setelah keadaan Anis membaik, Anis memutuskan untuk menikah dengan Erick. Dan segala persiapan pernikahan mereka telah dirancang oleh Farah sendiri. Ya akhirnya Farah mengalah dan tetap menyimpan perasaannya dalam-dalam terhadap Erick. Hanya Ibu dan Adik-adiknya lah yang tahu bagaimana hancurnya Farah. Namun ia sama sekali tak menunjukkan sikapnya itu didepan Anis dan juga Erick. Dia ga mau menghancurkan impian dan harapan sahabatnya itu. Biarlah rasa itu dikuburnya dalam-dalam.
            Hari itu tiba juga. Hari dimana Erick dan Anis menikah dan mengucap janji sehidup semati di depan hadapan Pastor dan segenap umat-Nya. Acara pernikahan mereka berlangsung secara sederhana. Hanya keluarga dan kerabat dekat saja yang hadir. Acara pernikahan pun kini dimulai. Namun sampai pada pengucapan janji setia, Farah dan juga Ibu beserta Adik-adiknya belum juga datang. Dihadapan pastor, Erick mengucap janji setianya yang akan menemani Anis dalam suka maupun duka, begitu juga dengan Anis. Kini tibalah pemasangan cincin dijari kedua mempelai. Namun setelah cincin terpasang di jari manis Anis, Anis jatuh pingsan. Seketika tim dokter membawa Anis kembali ke rumah sakit.
            Annisa sekarat. Kondisinya semakin memburuk. Penyakit liver yang dideritanya kian parah dan menggerogoti organ lainnya. “Anis harus segera mendapatkan donor hati untuknya”. Kata dokter yang memeriksa Anis. Keluarganya panik. Siapa yang mau mendonorkan hatinya untuk Anis?!! Erick yang ga kuat melihat keadaan Anis keluar dari ruang ICU untuk sekedar menenagkan pikirannya. “Ibu, Tara, Tari, kalin kenapa?!!!”. Erick kaget begitu melihat Ibu Farah dan adik-adiknya berlumur darah dan tergontai. “Kami kecelakaan, Nak. Mobil yang kami tumpangi menabrak sebuah truk gandeng yang melintas laju”. Jelas Ibu Farah. “Farah mana, Bu?” Tanya Erick yang teringat dengan Farah.
            Dokter keluar dari ruangan UGD yang disambut cemas oleh Ibu dan adik-adik Farah. “Bagaimana keadaan anak ya, Dok?”. “Maaf Bu, kami udah berussaha semaksimal mungkin, tapiiii……………..”. dokter diam sebentar. “Tapi Tuhan lebih sayang dengan dia”. Seketika suasana rumah sakit menjadi riuh dengan tangisan Ibu, Tara, dan Tari yang menangisi kepergian Farah. Ibu histeris dan menjerit-jerit menyesali yang telah terjadi pada Farah. Ya Farah meninggal dunia setelah kecelakaan itu.
            Di depan makam yang bertuliskan nama “FARAH SAUFIKA TRIANI”, Anis dan Erick menaburkan bunga. Tangisan Anis kembali pecah. “Maafin gw Far, gw ga pernah tau tentang perasaan lo ke Erick. Sebenarnya lo bisa aja benci ma gw. Tapi lo bener-bener sahabat gw yang paling baik Far. Bahkan disaat-saat terakhir hidup lo, lo sempat mikirin gw yang udah sekarat. Lo sempat bilang ke dokter buat nyumbangin hati lo ke gw. gw janji ma lo Far, gw janji bakal jaga hati lo baik-baik, sama kayak gw jagain Erick buat lo”.
            Nenek yang dulu bertemu Farah itu melihat Erick dan Anis dari kejauhan dan tersenyum.

1 komentar: